Beberapa orang terkadang membuat janji untuk melakukan sesuatu ketika telah mencapai tujuan tertentu. Dalam Islam ini dinamakan “Nazar”. Yaitu berjanji kepada diri sendiri untuk melakukan suatu hal jika tujuannya terpenuhi.
Hal-hal yang dijadikan nazar biasanya berupa ibadah sebagai upaya untuk mendekatkan diri kepada Allah. Seperti menjalankan shalat sunnah, berbagi kepada fakir miskin, hingga berpuasa. Sehingga tidak disarankan untuk bernazar dengan hal-hal yang makruh maupun haram.
Di artikel ini akan dibahas mengenai puasa nazar dan ketentuannya dalam Islam.
Puasa nazar berarti menjadikan puasa sebagai bentuk janjinya ketika seseorang telah mencapai tujuannya. Misalnya, seseorang berjanji ketika penjualan produknya tembus seratus juta maka ia akan berpuasa selama tujuh hari.
Ketika tujuannya telah tercapai maka menjadi wajib hukumnya untuk melaksanakan apa yang telah dijanjikan sebelumnya. Karena nazar memiliki sifat mengubah hal yang sunnah dan mubah menjadi wajib. Sebagaimana disebutkan dalam Qur’an surat Al-Hajj ayat 29,
ثُمَّ لْيَقْضُوا تَفَثَهُمْ وَلْيُوفُوا نُذُورَهُمْ
Artinya: “Kemudian, hendaklah mereka menghilangkan kotoran yang ada pada badan mereka dan hendaklah mereka menyempurnakan nazar-nazar mereka.” (Q.S Al-Hajj: 29)
Sebagai salah satu amalan yang membuat seseorang jadi wajib melaksanakannya, puasa nazar memiliki niat yang harus diucapkan sebagai berikut,
نَوَيْتُ صَوْمَ النَّذَرِ لِلّٰهِ تَعَالىَ
Nawaitu shoumannadzari lillaahi ta’aalaa
Artinya: “Saya niat puasa nazar karena Allah ta’ala.”
Puasa yang dijadikan nazar oleh seseorang hukumnya menjadi wajib dan boleh dikerjakan kapan saja kecuali pada hari tasyrik (11, 12, 13 Dzulhijjah), Idul Fitri, dan Idul Adha. jika tidak melaksanakannya, maka harus membayar kafarat atau denda sebagai ganti dari nazarnya berupa:
Apabila nazar yang dibuat terlalu berat untuk dilakukan dan ternyata kondisi diri sendiri tidak memungkinkan untuk melaksanakan nazar tersebut, maka tidak mengapa untuk dibatalkan.Tetapi harus menggantinya dengan kafarat atau denda seperti yang sudah disebutkan pada poin sebelumnya.
Sebagaimana telah disebutkan dalam Qur’an surat Al-Maidah ayat 89,
لَا يُؤَاخِذُكُمُ اللَّهُ بِاللَّغْوِ فِي أَيْمَانِكُمْ وَلَٰكِنْ يُؤَاخِذُكُمْ بِمَا عَقَّدْتُمُ الْأَيْمَانَ ۖ فَكَفَّارَتُهُ إِطْعَامُ عَشَرَةِ مَسَاكِينَ مِنْ أَوْسَطِ مَا تُطْعِمُونَ أَهْلِيكُمْ أَوْ كِسْوَتُهُمْ أَوْ تَحْرِيرُ رَقَبَةٍ ۖ فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ ۚ ذَٰلِكَ كَفَّارَةُ أَيْمَانِكُمْ إِذَا حَلَفْتُمْ ۚ وَاحْفَظُوا أَيْمَانَكُمْ ۚ كَذَٰلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمْ آيَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
Artinya: “Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja. Maka kafarat (melanggar) sumpah itu ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan untuk keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak. Barang siapa tidak sanggup melakukan yang demikian, maka kafaratnya puasa selama tiga hari. Yang demikian itu adalah kafarat sumpah-sumpahmu bila kamu bersumpah (dan kamu langgar). Dan jagalah sumpahmu. Demikianlah Allah menerangkan kepadamu hukum-hukum Nya agar kamu bersyukur kepada-Nya.”
Terkait hal ini, ada salah satu hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari Ibnu Abbas ra bahwa Sa’ad bin Ubadah pernah meminta fatwa kepada Rasulullah,
“Ibuku telah meninggal dunia sedang dia mempunyai kewajiban nazar yang belum ia tunaikan” Maka Rasulullah bersabda, “Tunaikanlah untuknya.”
Berdasarkan hadits tersebut, dapat disimpulkan bahwa nazar bisa digantikan oleh kerabat sedarah yang masih hidup. Jika yang dinazarkan berupa harta, misalnya nazar membelikan anaknya perhiasan maka pembeliannya menggunakan sepertiga harta warisan. Baik ia telah berwasiat sebelumnya ataupun tidak.
Namun, jika nazar harta ini memberatkan pihak yang ditinggalkan maka tidak mengapa untuk tidak menunaikannya.
Namun jika nazarnya berupa ibadah sunnah seperti puasa, umroh, haji, dan shalat maka wali yang ditinggalkan wajib menunaikan nazar tersebut. Jika wali tidak memungkinkan untuk mengganti nazar tersebut maka wajib menggantinya dengan kafarat (denda).
Demikianlah pengertian puasa nazar beserta ketentuannya. Sebagai seorang muslim sudah sepatutnya untuk bertanggung jawab atas segala janji yang dibuat baik itu untuk diri sendiri maupun untuk Allah ta’ala.
Jangan lupa tunaikan sedekah hari ini. Yuk rasakan kemudahan sedekah online melalui Goamal.0rg.