Salah satu nikmat dalam beragama Islam adalah Allah telah membuat panduan untuk segala urusan mulai dari bangun tidur hingga tidur kembali. Dari aktivitas ibadah, pekerjaan, bersekolah, bermasyarakat, hingga mencari pasangan.
Dalam urusan ibadah, Allah telah membuat pedoman dalam Al-Qur’an mulai dari tata caranya, apa saja yang harus diucapkan, hingga apa yang harus diperbuat setelah ibadah tersebut selesai dilakukan.
Dari begitu banyaknya ibadah wajib dan sunnah yang diperintahkan oleh Allah untuk hamba-Nya, Allah memberikan keringanan bagi hamba-Nya untuk mengurangi hingga meninggalkan ibadah tersebut. Hal ini dinamai dengan Uzur Syar’i.
Uzur secara bahasa memiliki arti alasan atau halangan. Sedangkan secara istilah, uzur memiliki arti berhalangan untuk melakukan suatu kegiatan. Kata syar’i disini diartikan sebagai halangan yang sesuai secara syariat untuk tidak melakukan atau mengurangi ibadah.
Berikut ini adalah beberapa hal yang dikategorikan sebagai uzur syar’i yang menyebabkan seseorang diperbolehkan untuk meninggalkan ibadah:
Dalam Islam, seorang perempuan yang sedang haid dan nifas setelah melahirkan tidak diperkenankan untuk melaksanakan ibadah shalat dan puasa. Kondisi ini dikarenakan perempuan sedang mengeluarkan darah kotor sehingga dalam kondisi tidak suci.
Jika haid atau nifas dalam keadaan puasa Ramadhan, maka perempuan wajib menggantinya setelah bulan Ramadhan berakhir sesuai dengan jumlah hari yang ditinggalkan untuk tidak berpuasa.
Sedangkan jika yang ditinggalkan adalah shalat, maka perempuan tidak wajib untuk menggantinya. Untuk perempuan yang tidak sanggup mengganti puasa, maka bisa menggantinya dengan membayar fidyah.
Fidyah yang harus diberikan berupa memberikan makanan matang kepada orang tidak mampu sesuai dengan jumlah hari tidak berpuasa, memberikan bahan makanan pokok sebesar 1,25kg atau menggantinya dengan uang seharga 3,25kg kurma, anggur, atau jewawut.
Musafir adalah orang yang sedang melakukan perjalanan dari satu tempat ke tempat lain untuk tujuan kebaikan seperti menuntut ilmu, berdagang, berdakwah, berjihad, haji, atau umroh. Ulama berbeda pendapat terkait jarak tempuh yang dikategorikan boleh untuk membatalkan puasa.
Imam Hanafi berpendapat 5 kilometer, Imam Syafi’i berpendapat 80 kilometer, sedangkan Imam Malik dan Imam Ahmad sekitar 88 kilometer.
Syarat-syarat lainnya yang harus dipenuhi untuk membatalkan puasa adalah tidak menetap, perjalanan dilakukan sebelum terbit fajar, dan perjalanan harus dilakukan secara terus menerus. Bahkan dalam hal ini mayoritas ulama berpendapat, jika musafir menetap lebih dari empat hari maka harus berpuasa.
Dikategorikan boleh membatalkan puasa bagi orang yang sakit keras atau sakit menahun yang tidak memungkinkan baginya untuk melaksanakan puasa. Sebagaimana disebutkan dalam Qur’an surat Al-Baqoroh ayat 185,
وَمَنْ كَانَ مَرِيْضًا اَوْ عَلٰى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ اَيَّامٍ اُخَرَ ۗيُرِيْدُ اللّٰهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيْدُ بِكُمُ الْعُسْرَ ۖوَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللّٰهَ عَلٰى مَا هَدٰىكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُوْنَ
Artinya: “… Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (dia tidak berpuasa), maka (wajib menggantinya), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, agar kamu bersyukur.” (Q.S Al-Baqoroh : 185)
Bagi orang sakit, diperbolehkan shalat sambil duduk, berbaring, atau bahkan jika tidak bisa keduanya maka boleh dengan isyarat mata. Kemudian jika sakitnya tidak diperkenankan untuk terkena air boleh berwudhu dengan tayamum.
Orang yang sedang dalam perjalanan jauh juga diperkenankan untuk menjamak atau menggabungkan shalatnya jika ia tidak menemukan masjid dalam jarak dekat. Para ulama bersepakat bahwa jamak bisa dilakukan jika seseorang melakukan perjalanan sejauh 81 kilometer.
Jamak sendiri dibagi menjadi dua bagian. Yaitu “Jamak Takdim” yang merupakan menggabungkan shalat pada bagian awal. Contohnya adalah shalat Dzuhur dan Ashar yang dikerjakan pada waktu Dzuhur..
Sedangkan “Jamak Ta’khir” adalah menggabungkan shalat pada bagian akhir. Contohnya shalat Maghrib dan Isya yang dikerjakan pada waktu Isya. Ketentuan shalat yang bisa dijamak adalah Dzuhur dan Ashar dengan jumlah raka’at masing-masing dua. Kemudian Maghrib dan Isya dengan jumlah raka’at Maghrib tetap tiga dan Isya hanya dua raka’at.
Orang yang sudah lanjut usia memiliki uzur syar’i dalam melaksanakan ibadah. Karena kondisi tubuh yang tidak memungkinkan untuk berjalan ke masjid, puasa ramadhan, hingga shalat sempurna dengan kondisi berdiri. Maka bisa melaksanakan shalat dari rumah dengan duduk ataupun berbaring.
Itulah beberapa uzur syar’i yang menyebabkan seseorang diperbolehkan mengurangi hingga meninggalkan ibadahnya. Hal ini membuktikan bahwa Allah tidak memperkenankan kesusahan pada hamba-Nya melainkan kemudahan. Perlu diingat bahwa uzur syar’i ini sebaiknya tidak disalahgunakan dengan menggampangkan urusan ibadah.
Demikian pembahasan mengenai uzur syar’i. Jangan lupa, sedekah hari ini untuk keberkahan sepanjang hari. Sedekah sekarang melalui Goamal.org.